Pengertian Demokrasi
Secara
etimologis, Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang
berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan
atau kekuasaan. Jadi, secara bahasa demos- cratein atau demos-
cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat.[1]
Sedangkan
pengertian demokrasi secara terminology adalah seperti yang dinyatakan oleh
para ahli tentang demokrasi:
A. Joseph A. Schemeter mengatakan, demokrasi merupakan
suatu perencanaan konstitusional untuk mencapai keputusan politik dimana
individu- individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat.
B. Sidney Hook berpendapat, Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan dimana keputusan- keputusan pemerintah yang penting secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
C. Henry B. Mayo menyatakan, demokrasi sebagai suatu system
politik merupakan suatu system yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan
atas dasar mayoritas oleh wakil- wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan- pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.[2]
Isitilah
demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di athena kuno pada
abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18 , bersama perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata
demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa
Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam
pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di
beberapa negara kota di Yunani kuno.
Dengan
demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang di Yunani kuno, berupa
partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan,
atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan.
Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan
wilayahnya luas.
Aristoteles,
seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata
demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu
orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila orang yang memegang
kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut monarki. Kemudian
apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang untuk orang banyak disebut
aristokrasi.
Kemudian ada
pula ajaran dari Polybios, seorang ahli negara Yunani, yang di Roma sebagai
seorang tawanan perang. Polybios mengajarkan adanya bentuk negara tersebut
adalah terdiri dari 3 (tiga) bentuk ideal, dan 3 (tiga) bentuk kemerosotan.
Teorinya tentang perkembangan, bentuk negara didasarkan atas asas dan akibat,
sebab yang sama akan membawa akibat yang sama pula. Dia menguraikan proses
pertumbuhan dan musnah (lenyapnya) bentuk negara secara psikologia, dan
perkembangan dari bentuk negara yang satu ke bentuk negara yang lainya akan
merupakan suatu siklus (lingkaran).
Di dunia barat,
seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai
“Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (terjemahan dari
Government by the people, from the people and for the people).”
Demokrasi di
dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran,
Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah Skandinavia, dilaksanakan dalam
kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang
dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif
bertanggung jawab kepada parlemen, seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda,
atau presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat seperti yang terjadi di
Amerika Serikat dan Prancis.
Demokrasi dalam
Islam
Banyak kalangan
non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik
antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa
perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah
dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy
(1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya
modernitas politik.
Peraih Nobel
Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi
seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan
agama secara umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari
agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi.
Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha,
cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.
Dalam
menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil
Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal
Foreign Affairs: “Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat
fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi,
ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur
sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur
utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi.
Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan
sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara
meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel;
sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam
adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin
Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan
Syaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang
bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju
saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan
demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan
terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut
Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai
“pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung
atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan
dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum
khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas
atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya
adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau
gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek
tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari
ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam,
apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga
unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan
preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di
sisi lain.
1.
Pertama,
konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
`’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the
governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang
ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran,
Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan
dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki
hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan
Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer.
Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan
egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam.
2.
Kedua,
partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan
struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini
bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan
dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan
populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan
petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki
proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam.
3.
Ketiga,
akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung
jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa
semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.
Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh
karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi
sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah
al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini
memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty):
bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam
demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan
salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia
telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan
memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah
menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan
untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut
petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi
interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Apakah akan
memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan
memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih
untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga
terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk
pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.
Apabila
terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat
tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan
sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan
dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang
diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter
fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara
demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam
orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya
bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap
demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam.
Prinsip-prinsip
Demokrasi dalam Islam
Prinsip
Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip
yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga
negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas
tanpa mengabaikan kontrol minoritas, peranan partai politik yang sangat penting
sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum),
semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu. Pandangan Ulama
tentang Demokrasi.
Dalam hal ini
al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal
paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan
segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan
Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi
menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik.
Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja
bukan seperti teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang
telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
Kritikan
terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan
ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas
agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari
etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar
demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama
kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat
menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual.
Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang
dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan
demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat.
Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan
asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah,
ras, dan warna kulit; serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui
ijtihad.
Menurut
Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak
menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan
menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam
sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah
pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan
merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad
untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’
(legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami
sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat
berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat
Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam
pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman,
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54).[3]
Inilah batas
yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal
lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas,
serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf
al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa hal, yaitu Misalnya, Pertama, dalam demokrasi proses
pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang
berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh
akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam
menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di
belakangnya.
Kedua,
usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan
Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada
pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis
pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya
sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas
jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga
penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka
ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di
antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara,
lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga
lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka.
Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama
dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah
selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
Keempat
juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan
merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam
Islam meliputi:
1. Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja
disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat
Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli
wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim
formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah
2. al-‘adalah
adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam
berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak
boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan
seterusnya.
3. al-Musawah
adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang
lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.
4. al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang
diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah
tersebut harus dijaga dengan baik. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap
adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
5. al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita
ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai,
bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang
pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
6. al-Hurriyyah
adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan
kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan
dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan
dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak
ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah
ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah
kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan
ajaran Islam. Yaitu:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi
pertimbangan utama dalam musyawarah.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi;
bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari
nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau
konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan
ialah:
1. Pertama, seluruh warga
atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga
aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
2. Kedua, parlemen atau
lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam
yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Daftar
pustaka
Aziz,
Abdul, Alqur’anul karim wa tarjamatu ma’anihi ila allughati al indunisiyah,(
Arab Saudi: Maktabah Malik, 1420 h)
http://makuliye.wordpress.com/2010/04/16/demokrasi-menurut-islam
Saleh,
Syarbaini, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung: CitaPustaka Media
Perintis, 2008), cet.1
Azra, Azyumardi, Demokrasi,
hak asasi manusia,& masyarakat madani,(Jakarta:ICCE UIN, 2003), cet.1
[1] Sarbaini Saleh, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Bandung: Citapustaka media Perintis, 2008), cet.1
[2] Azra, Azyumardi, Demokrasi,
hak asasi manusia, & masyarakat madani,(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2003) , h.110
[3]
Abdu
Ajiz, Alqur’anul karim wa tarjamatu
ma’anihi ila allughati al indunisiyah,( Arab Saudi: Maktabah Malik, 1420 h)